Minggu

Makalah Insan Kamil



MAKALAH
Insan Kamil
                                                   








Disusun Oleh :
SOENOKO, S.Kom






KATA PENGANTAR


            Penulis panjatkan  puji dan syukur ke hadirat Allah swt., karena berkat rahmat, inayah dan izin-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad saw., beserta para sahabat, keluarga hingga pengikutnya sampai akhir zaman.
            Penulis juga ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini. 
            Akhirnya, kami menyadari bahwa makalah kami ini sangat jauh dari sempurna, baik dalam hal penulisan, isi, maupun kekurangan lainnya. Untuk itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk perbaikan makalah di masa yang akan datang.

Sukabumi,     Januari 2011

Penulis




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................ 3
A. Konsep Insan Kamil menurut Al-Qur’an dan Hadits.................................. 3
B. Kriteria atau Ciri-Ciri Insan Kamil.............................................................. 7
BAB III PENUTUP......................................................................................... 10
Kesimpulan....................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 11

BAB I
PENDAHULUAN

Insan kamil adalah konsep manusia paripurna. Manusia yang berhasil mencapai puncak prestasi tertinggi dilihat dari beberapa dimensi.
Menurut Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365 – 1428)
Insan kamil Artinya adalah manusia sempurna, berasal dari kata al-insan yang berarti manusia dan al-kamil yang berarti sempurna. Konsepsi filosofid ini pertama kali muncul dari gagasan tokoh sufi Ibnu Arabi. Oleh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428), pengikutnya, gagasan ini dikembangkan menjadi bagian dari renungan mistis yang bercorak tasawuf filosofis.
Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad (al-haqiqah al-Muhammad) yang demikian tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad SAW asebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur (cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di jagad raya ini.
Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping terdapat dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke dalam diri Nabi Adam AS. Al-Jili dengan karya monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan yang Terakhir) mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasikan insan kamil dengan dua pengertian.
a.       Pertama, insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna. Dalam pengertian demikian, insan kamil terkait dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna. Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah dirinya.
b.      Kedua, insan kamil terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta sifat-sifat Tuhan ke dalam hakikat atau esensi dirinya. Dalam pengertian ini, nama esensial dan sifat-sifat Ilahi tersebut pada dasarnya juga menjadi milik manusia sempurna oleh adanya hak fundamental, yaitu sebagai suatu keniscayaan yang inheren dalam esensi dirinya. Hal itu dinyatakan dalam ungkapan yang sering terdengar, yaitu Tuhan berfungsi sebagai cermin bagi manusia dan manusia menjadi cermin bagi Tuhan untuk melihat diri-Nya.




BAB II
PEMBAHASAN


A.  Konsep Insan Kamil menurut Al-Qur’an dan Hadist
Nabi Muhammad Saw disebut sebagai teladan insan kamil atau istilah populernya di dalam Q.S. al- Ahdzab/33:21:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”.
Perwujudan insan kamil dibahas secara khusus di dalam kitab-kitab tasawuf, namun konsep insan kamil ini juga dapat diartikulasikan dalam kehidupan kontemporer.
Allah SWT tidak membiarkan kita untuk menginterpretasikan tata nilai tersebut semaunya, berstandard seenaknya, tapi juga memberikan kepada kita, Rasulullah SAW yang menjadi uswah hasanah. Rasulullah SAW merupakan insan kamil, manusia paripurna, yang tidak ada satupun sisi-sisi kemanusiaan yang tidak disentuhnya selama hidupnya. Ia adalah ciptaan terbaik yang kepadanya kita merujuk akan akhlaq yang mulia. Allah SWT berfirman:
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlaq yang mulia.” (QS. Al-Qolam:4)
Sesungguhnya telah ada dalam diri Rasulullaah suri teladan yang baik bagi kalian, yaitu orang-orang mengharapkan (keridhoan) Allah dan (kebahagiaan) hari akhirat, serta banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab:21)“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itu Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al Maidah 15-16)
Firman Allah itu menjelaskan tentang nur atau cahaya yang menjadi sosok diri Muhammad sebagai seorang Rasulullah Rahmatan Lil’alamin. Muhammad adalah nabi akhir zaman dan karena itu menjadi penutup semua nabi terdahulu yang diutus untuk menjadi saksi kehidupan manusia dan pembawa berita tentang kehidupan mendatang di akhirat.
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang mukmin bahwa sesungguhnya bagi mereka karunia yang besar dari Allah.” (Al Ahzab: 45-47).
Muhammad yang dijuluki Allah sebagai cahaya adalah nama yang menjadi figur sentral ajaran Islam. Dalam berjanji,Muhamamad bahkan diibaratkan bagai cahaya purnama. Cahaya yang tidak menyilaukan, cahaya yang menyejukkan dan cahaya yang romantis. Jika manusia adalah sebaik-baik penciptaan maka Muhammad adalah sebaik-baik manusia. Tak ada manusia yang mampu menandingi penciptaan wujud Muhammad secara lahiriah, juga sifat, dan perbuatannya.
Muhammad bin Abdullah, kini sudah tidak ada lagi. Sebagai manusia, Muhammad wafat lebih dari empat belas abad yang lalu. Namun memahami Muhammad, tidak cukup hanya pada sebatas wujud secara fisik. Muhammad adalah ciptaan terbaik yang akan terus membuat dahaga siapa saja yang mencoba memahaminya. Tak keliru jika ada tamsil bahwa memahami Muhammad dari nama, sifat, perbuatan maupun wujud dirinya bagai meneguk air di lautan. Makin diteguk, semakin haus.
Bagaimana kehidupan sebagai pribadinya adalah rujukan kita. Cara makan dan minumnya adalah standar akhlaq kita. Tidur dan berjalannya adalah juga standard kita. Tangisnya, senyumnya, berfikir dan merenungnya, bicaranya dan diamnya adalah juga merupakan tangis, senyum, berfikir dan merenungnya, bicara dan diamnya kita.
Kehidupannya sebagai kepala rumah tangga, anggota masyarakat, kepala negara, da’i, jenderal perang adalah rujukan kehidupan kita. Demikianlah, Rasulullah SAW memang telah menjadi ukuran resmi yang Allah SWT turunkan bagi kita, dan sampai kapanpun ini tidak akan pernah berubah.
Orang-orang ahli tauhid dan hakikat bahkan memaknai Muhammad, jauh hingga ke dasar penciptaan hakikinya. Syekh Muhammad Nafis al Banjari dalam Addurun Nafis, misalnya, mengaitkan nur Muhammad dengan martabat tujuh (tanazul zat). Tujuh martabat dalam tanazul zat meliputi ahdiyah, wahdah, wahdiyah, alam arwah, alam mitsal, alam ajsam dan alam insan. Ulama besar dari Banjarmasin itu menempatkan nur Muhammad pada martabat wahdah yaitu martabat kedua dari tujuh martabat yang diistilahkan tanazul zat.
Hadis lain menerangkan,
“Aku dari Allah dan segala mukmin itu dariku.”
Ada pula hadis yang menjelaskan,
“Bahwasanya Allah Ta’ala telah menjadikan Ruh Nabi Muhammad SAW dari Zat-Nya dan menjadikan sekalian alam dari nur Muhammad.”
Sebuah riwayat Abdur Razaq ra. yang berasal dari Sayyidina Jabir ra. menyatakan,
“Jabir datang kepada Rasulullah SAW dengan pertanyaan: ‘Ya Rasulullah, khabari aku tentang awal mula suatu yang dijadikan Allah Ta’ala.’ Maka kata nabi, ‘Hai Jabir, bahwasanya Allah Ta’ala telah menjadikan terlebih dahulu dari sesuatu itu Nur Nabimu yang telah tercipta dari Zat-Nya.’”
Pemahaman tentang Nur Muhammad berasal dari Zat-Nya dapat diilustrasikan pada pengertian antara cahaya matahari dan wujud matahari. Dalam sudut pandang rupa, cahaya bukanlah matahari dan matahari juga bukan cahaya. Keduanya mempunyai wujud dan sifat masing-masing. Tapi dilihat dari makna yang hakiki, cahaya merupakan diri matahari, karena tak akan ada cahaya tanpa matahari dan sebaliknya tak akan disebut matahari tanpa mengeluarkan cahaya. Jadi pada hakikatnya cahaya adalah diri matahari itu sendiri, dan tidak lain.
Memahami nur sebagai diri Muhammad jangan seperti memahami cahaya secara harfiah, melainkan harus kepada esensi sebagaimana Allah juga menamakan diri-Nya sebagai sumber cahaya langit dan bumi,
“Allah Pemberi cahaya kepada langit dan bumi.” (An Nur: 35).
Rasulullah SAW bersabda sehubungan dengan akhlaq, hati dan lisan:
“Iman seorang hamba tidaklah lurus sehingga lurus hatinya. Dan tidak akan lurus hati seorang hamba sehingga lurus lisannya.” (H.R. Ahmad).
Sehubungan dengan hubungan sosial, beliau bersabda:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangganya, dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tamunya, dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah yang baik atau diam.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dan masih banyak lagi ibrah lainnya dari kehidupan Rasulullah SAW, yang tidak akan mungkin cukup kertas ini untuk mengungkapkannya, yang menunjukkan keagungan dan kemuliaan akhlaq beliau, baik akhlaq terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia, terhadap makhluk lainnya dan tentunya akhlaq terhadap Khaliqnya sebagai insan kamil.
Jadi akhlaq Islam itu sudah ada formatnya dan juga mapan, berlainan dengan akhlaq, moral, etika dalam sistem budaya buatan manusia diluar Islam yang tidak pernah memiliki standar baku dan senantiasa berubah bergantung pada main stream budaya yang ada pada waktu itu.
Ukuran kebaikan dan kesopanan begitu relatif dan variatif, bergantung kepada tempat dan waktu. Dahulu dua orang yang (ma’af) berpelukan dan berciuman di depan umum akan dianggap hal yang sangat memalukan dan tidak patut, namun sekarang hal itu dianggap biasa dan patut-patut saja. Seseorang yang memegang minuman keras dengan tangan kiri sambil berjalan modar-mandir dan tertawa-tawa adalah hal sangat bisa diterima oleh umum dimanapun, namun tidak oleh Islam, dan Islam tidak mentolerirnya sejak Rasulullah SAW ada sampai sekarang.
Imam Al-Ghazaly menyatakan bahwa akhlaq adalah perbuatan seseorang yang dilakukan tanpa berfikir lagi, yaitu sesuatu yang sudah menjadi kebiasaanya sehingga dikerjakan dengan spontan. Misalnya orang yang senantiasa makan dan minum dengan tangan kirinya, maka dimanapun, dan dalam keadaan bagaimanapun ia akan spontan makan dan minum menggunakan tangan kirinya. Orang yang tidak terbiasa mengucapkan salam kepada sesama muslim dan terbiasa mengucapkan “hello” “goodbye” juga akan mengucapakan “hello” “goodbye” ketika bertemu seseorang.
Oleh karena itu kita harus membiasakan dan menshibghoh (mencelup) diri dengan akhlaq Islam, sehingga mentradisi dalam jiwa dan kehidupan kita dan dimanapun serta kapanpun dengan spontan terlihat bahwa akhlaq yang Islami merupakan akhlaq kita.
Allah SWT berfirman:
“Shibghoh Allah, dan siapakah yang lebih baik shibghohnya dari Allah, dan kepada-Nyalah kami mengabdikan diri.” (QS: Al-Baqarah:138).
Terakhir, Akhlaq Islam bukanlah semata-mata anjuran menuju perbaikan nilai kehidupan manusia didunia, tapi ia memberikan dampak bagi kehidupannya di akhirat. Seseorang yang berakhlaq baik tentunya akan mendapat ganjaran pahala, dan sebaliknya orang yang berakhlaq buruk pasti ia akan merasakan adzab Allah yang sangat pedih.
Seorang yang senantiasa mengucapkan kata-kata yang baik, misalnya, tentunya baik buat dirinya dan orang lain didunia ini dan juga menadapatkan ganjaran pahala yang akan menambah berat timbangan amal sholehnya di hari akhirat kelak. Dan seorang pengumpat, pencaci, penghasut tentunya akan memberikan akibat buruk bagi dirinya dan orang lain di dunia dan melicinkan jalannya untuk menikmati siksa Allah di neraka kelak.
Inilah diantara ciri khas Akhlaq Islam, yang pada akhirnya ia membuat setiap muslim terpaksa atau tidak untuk menshibghoh dirinya dengan tata nilai yang telah Allah berikan kepada dia dan dengan gamblang dan lengkap telah pula diimplementasikan oleh Muhammad SAW, kekasih-Nya, manusia pilihan-Nya sebagai insan kamil.

B.  Kriteria atau ciri – ciri Insan Kamil
Sifat – sifat manusia sempurna
Ø Keimanan
Ø Ketaqwaan
Ø Keadaban
Ø Keilmuan
Ø Kemahiran
Ø Ketertiban
Ø Kegigihan dalam kebaikan dan kebenaran
Ø Persaudaraan
Ø Persepakatan dalam hidup
Ø Perpaduan dalam umah
Sifat – sifat inilah yang menjamin manusia menjadi sempurna dan mencapai hasanah dalam dunia dan hasanah dalam akhirat.
Cara-cara mencapainya ialah dengan :
a.       Ilmu taubat dengan syarat – syaratnya menghindari dari yang menyebabkan nafsu dengan mengawalnya dengan mendisiplinkan pergaulan dan harta serta mengambilkan yang halal dan membelanjakan dalam perkara halal, kemudian disertai dengan berhemat.
b.      Berjaga – jaga supaya amalan tidak binasa oleh niat-niat yang merobohkannya seperti ria digantikan dengan ikhlas.
c.       Keadaan tergesa-gesa digantikan dengan sabar.
d.      Tidak cermat digantikan dengan sifat cermat menyelamatkan diri daripada kelesuan.
e.       Dengan mengamalkan sifat harap dan takut, maksudnya harap bahwa Allah akan menerima amalan dan menyelamatkan kita, takut kalau-kalau Allah tidak mengampuni kita dan menerima amalan kita.
f.       Mengamalkan sifat puji dan syukur dalam hidup terhadap Allah juga terhadap makhluk yang menjadi wasilah atau perantara sampainya nikmat Allah kepada kita. Puji dan syukur itu dapat berupa rasa gembira dan syukur terhadap nikmat Allah dan lidah mengucapkan kesyukuran, al-hamdulillah, serta dengan melakukan perbuatan – perbuatan yang dirhidoi Allah SWT.

Ciri – ciri atau kriteria Insan Kamil pada diri Rasullullah SAW
Adapun beberapa ciri – ciri atau kriteria Insan Kamil yang dapat kita lihat pada diri Rasulullah SAW yakni 4 sifat yakni :\
Sifat amanah (dapat dipercaya)
Amanah / dapat dipercaya maksudnya ialah dapat memegang apa yang dipercayakan seseorang kepadanya walaupun hanya sesuatu yang kita anggap kurang berharga. Di zaman seperti sekarang ini sangat sulit menemukan sifat manusia yang seperti itu, sebab bila kita lihat sekarang ini hidup di dunia sangat sulit maka untuk bisa memenuhi hasrat dan kebutuhannya manusia pun menghalalkan segala cara. Walaupun ada, sifat amanah ini dimiliki hanya orang – orang yang mengerti tentang kehidupan di masa sekarang dan di masa yang akan datang, maksudnya ia telah menyadari bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara dan kehidupan yang kekal dan abadi hanya di alam akhirat dengan dasar itulah orang – orang yang memiliki sifat amanah dapat menerapkannya di kehidupannya sehari – hari.
Sifat fathanah (cerdas)
Seseorang yang memiliki kepintaran di dalam bidang fomal atau di sekolah belum tentu dia dapat cerdas dalam menjalani kehidupannya, sebab bila kita lihat kenyataan di masyarakat bahwa banyak sarjana yang telah menyelesaikan studinya hanya menjadi pengangguran yang tak dapat mengembangkan semua pengetahuan yang didapatnya itu menunjukkan bahwa ia bukanlah seseorang yang cerdas. Cerdas ialah sifat yang dapat membawa seseorang dalam bergaul, bermasyarakat dan dalam menjalani kehidupannya untuk menuju yang lebih, tapi sifat cerdas ini tidaklah dimiliki setiap orang. Walaupun ada hanya sedikit orang yang memiliki kecerdasan, biasanya orang memiliki kecerdasan ini adalah orang telah mengalami banyak pengalaman hidup yang dapat berguna di dalam menjalani kehidupan.
Sifat siddiq (jujur)
Jujur adalah sebuah kata yang sangat sederhana sekali dan sering kita jumpai, tapi sayangnya penerapannya sangat sulit sekali di dalam bermasyarakat. Entah dikarenakan apa dan kenapa kita sebagai manusia sangat sulit sekali untuk berlaku jujur baik jujur dalam perkataan dan perbuatan. Sifat jujur sering sekali kita temui di dalam kehidupan sehari – hari tapi tidak ada sifat jujur yang murni maksudnya ialah, sifat jujur tersebut mempunyai tujuan lain seperti mangharapkan sesuatu dari seseorang barulah kita bisa bersikap jujur.
Sifat Tabligh (menyampaikan)
Maksudnya tabligh disini ialah menyampaikan apa yang seharusnya di dengar oleh orang lain dan berguna baginya. Tentunnya sesuatu yang akan disampaikan itu pun haruslah sesuatu yang benar dan sesuai dengan kenyataan.




BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad (al-haqiqah al-Muhammad) yang demikian tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad SAW asebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur (cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di jagad raya ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S. al- Ahdzab/33:21 :
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”.












DAFTAR PUSTAKA

http://fixguy.wordpress.com/insan-kamil/
http://www.google.com/url?sa=t&source=web&cd=3&sqi=2&ved=0CC0QFjAC&url=http%3A%2F%2Fsufiroad.blogspot.com%2F2009%2F01%2Finsan-kamil.html&rct=j&q=INSAN%20KAMIl&ei=e6c9TbO6G43MuAOnkem9Cg&usg=AFQjCNGSwsJDfPkIXWbkffHskJRRWTb_iw&cad=rja

4 komentar: